Kamis, 30 Oktober 2014

Perpustakaan

Di sudut ruang perpustakaan duduklah sebotol minuman.
Aku berhadapan dengannya kini. Ia membisu, melirikku pun tidak.
Ia diam dalam kecairannya.
Aku menuju padanya, memeluk, mencium bertubi-tubi.
Ia tetap bisu.

Tak ada lagi dosa yang bisa aku perbuat di perpustakaan ini.
Aku berjalan meninggalkan ia bersama kepulan asap yang kuhembuskan keras-keras pada ujung ubun-ubunnya.
Ia benar-benar berubah, dibiarkannya langkahku berjalan.
Tak tertahan, tak ada pesan.

Para buku mengiringi kepergianku: ada yang menangis, ada yang bernyanyi parau, ada yang membuat teatrikal tentang semacam keberpisahan, ada yang main lompat karet, ada yang menertawakan, ada yang saling merobekkan diri lalu melemparkan puing-puing kertasnya ke langit-langit, ada bermacam-macam yang aku tidak dapat jelas melihat kegiatan mereka.

Sofa-sofa resepsionis membukakan pintu untukku, satu meter sebelum akhirnya aku sampai keluar, ada penanda jalan terpampang seperti peringatan atau memang dua pilihan yang tersedia bagiku: kiri: jalan kesepian, kanan: jalan kesendirian.
Di sudut ruang perpustakaan duduklah aku yang sibuk membelai-belai sebotol minuman. Cairannya berisikan ikan kesepian dan ikan kesendirian. Aku bersama kalian sebagaimana kalian membesarkan aku.





Lenteng,
30 Oktober 2014

Diskusi

Pohon bambu yang tak pernah layu sejak kami semester satu menjadi wasit saat kalimat-kalimat kami saling beradu, tak bertemu.

Monster itu kembali datang ke hadapanku. Ia tak tahu malu. Diserahkannya kepala ia padaku, dulu. Sebagai mahar hubungan yang tak menentu. Katanya, ambillah kepalaku agar kita saling berkasih madu. Cepatnya waktu, membuat kalimat itu hanya seperti figuran eftivi yang sambil lalu.

Saat kau menuntut sendiri. Aku telah beri bahkan kali ini aku mau mengerti. Kau pasti menganga melihat aku yang menjlema sebagai seorang yang berpengertian. Apalagi aku sampai di jalan penerimaan.

Salam hangat untuk dadamu yang ketar-ketir..











Lenteng,
September 2014

Sabtu, 04 Oktober 2014

Merajut Mimpi

Sebagaimana kalimat yang aku percaya: malam tidak harus baik-baik saja. Aku membaca cerpen Asmoro karya Djenar yang kusengajakan kegelisahan di dalamnya terendap padaku malam ini. Sebab di sebelah tempatku celentang telah berbaring seorang laki tak bernama. Sebelum ia tertidur mengorok, sudah ia sempatkan bercerita tentang hal yang tak penting untukku ketahui. Tapi ia bercerita, maka keharusanku mendengar, tak ada siapa-siapa di ruangan pengap gelap ini selain kami berdua.

Sebentar lagi. Sebentar lagi mataku terpejam pulas namun gagal karena sesuatu datang padaku. Sebut saja sesuatu itu si Godot. Padahal aku tak sedang menunggunya tapi ia datang cuma-cuma. Sialan! Ingin rasanya aku katakan pada sutradara bahwa Godot telah menyambangiku tanpa aku menanti-nanti, jadi batalkan saja pementasannya. Sia-sia..

Kesia-siaan ini aku genapkan dengan pembacaan berulang cerpen Asmoro karya Djenar pada angka yang tak ganjil. Tapi aku lupa pada angka apa aku berhenti melafalkannya. Tentu bukan pada angka dua. Lebih dari dua juga empat atau enam, sebab tidak ada nyamuk yang mendekatiku. Gerakan menggigilku terlalu gesit menjadi sasaran nyamuk. Sayup-sayup aku melihat gerombolan nyamuk berbaris rapi dari atas kening hingga ujung jempol kaki. Mereka hanya terpukau melihat tubuhku gemetar, barangkali mereka sedang membuat strategi agar bisa hinggap pada kulitku dan menghisap darah berkantong-kantong atau barangkali mereka terpaku menyaksikan getaran badanku yang lincahnya melebihi mereka saat menghindari tepokan tangan manusia yang hobi bersenang melihat darah nyamuk.

Mengutip puisi Tiang Listrik karya Afrizal Malna “aku membiarkan malam membuat balok kayu di punggungku.”

Tapi sebenarnya kutipan tersebut tak mewakilkan diri yang sengaja memberikan kepalanya pada semut-semut. Juga tak mewakilkan diri yang sengaja memberikan hatinya pada musim dingin.


Sampai jumpa pada keresahan lain-lain..






Lenteng,
4 Oktober 2014