Sabtu, 04 Oktober 2014

Merajut Mimpi

Sebagaimana kalimat yang aku percaya: malam tidak harus baik-baik saja. Aku membaca cerpen Asmoro karya Djenar yang kusengajakan kegelisahan di dalamnya terendap padaku malam ini. Sebab di sebelah tempatku celentang telah berbaring seorang laki tak bernama. Sebelum ia tertidur mengorok, sudah ia sempatkan bercerita tentang hal yang tak penting untukku ketahui. Tapi ia bercerita, maka keharusanku mendengar, tak ada siapa-siapa di ruangan pengap gelap ini selain kami berdua.

Sebentar lagi. Sebentar lagi mataku terpejam pulas namun gagal karena sesuatu datang padaku. Sebut saja sesuatu itu si Godot. Padahal aku tak sedang menunggunya tapi ia datang cuma-cuma. Sialan! Ingin rasanya aku katakan pada sutradara bahwa Godot telah menyambangiku tanpa aku menanti-nanti, jadi batalkan saja pementasannya. Sia-sia..

Kesia-siaan ini aku genapkan dengan pembacaan berulang cerpen Asmoro karya Djenar pada angka yang tak ganjil. Tapi aku lupa pada angka apa aku berhenti melafalkannya. Tentu bukan pada angka dua. Lebih dari dua juga empat atau enam, sebab tidak ada nyamuk yang mendekatiku. Gerakan menggigilku terlalu gesit menjadi sasaran nyamuk. Sayup-sayup aku melihat gerombolan nyamuk berbaris rapi dari atas kening hingga ujung jempol kaki. Mereka hanya terpukau melihat tubuhku gemetar, barangkali mereka sedang membuat strategi agar bisa hinggap pada kulitku dan menghisap darah berkantong-kantong atau barangkali mereka terpaku menyaksikan getaran badanku yang lincahnya melebihi mereka saat menghindari tepokan tangan manusia yang hobi bersenang melihat darah nyamuk.

Mengutip puisi Tiang Listrik karya Afrizal Malna “aku membiarkan malam membuat balok kayu di punggungku.”

Tapi sebenarnya kutipan tersebut tak mewakilkan diri yang sengaja memberikan kepalanya pada semut-semut. Juga tak mewakilkan diri yang sengaja memberikan hatinya pada musim dingin.


Sampai jumpa pada keresahan lain-lain..






Lenteng,
4 Oktober 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar