Rabu, 03 Desember 2014

Lapangan Blok S

Malam selasa tanggal 1 Desember lalu saya mengajak Bayu --teman mewah saya-- ke Kineforum Misbar di blok S yang menayangkan film Jakarta Hati. Sebetulnya judul-judul yang terdapat pada jadwal pemutaran film di Kineforum Misbar hampir seluruhnya earcatching, cukup untuk menciptakan keinginan datang menonton. Tepat dengan jadwal  saya dan Bayu yang lowong pada malam itu sampailah kami di blok S meski sebelumnya Bayu sempat membatalkan sepihak rencana kami, ah tapi dengan sigap saya langsung pajang muka yang mengerutkan kening dan sedikit memajukan bibir, tanda bahwa saya kecewa sekaligus menjadi tanda Bayu berkata “taik” yang diikuti kalimat “ayok deh. Ngeselin lu” dan horeee kami berangkat. Berangkat dengan jantung deg-deg-an sepanjang perjalanan sebab motor Bayu tak ada rem. Dalam hati, saya panjatkan doa “Tuhan, kabulkan keinginan Bayu mati diusia 27 tahun dan kematianku yang tidak disebabkan kecelakaan.”

Kami tiba di sana ketika film pertama pada malam itu: Si Doel Anak Betawi masih diputar, kira-kira 30 menit kemudian para penonton berbauran keluar, film telah selesai. Kami melihat beragam segmen penonton, yang menarik perhatian saya --bukan kami, sebab Bayu yang bodo amat-- adalah sebagian (mungkin) penduduk sekitar yang selesai menonton lalu sambil menunggu film berikutnya, mereka menyenyam berbagai bekal yang dibawa seperti gorengan, kacang, bahkan nasi dan lauk pauk. Seru sekaliii. Memang design ruang Kineforum Misbar tidak seperti layar tancep namun tempatnya yang di lapangan memberi rasa layar tancep. Tak ada hubungannya sih bekal dan ruang toh yang duduk di bioskop juga sambil mamam. Jadi apa? Jadi Kineforum Misbar itu wah. Setelah menonton  Jakarta Hati, saya mengajak Bayu untuk tidak langsung ke parkiran atau warkop terdekat, saya mengajak setengah memaksanya agar duduk di tengah lapangan blok S sambil meneguk sedikit sisa air mineral botol dan sebanyak sisa rokok. Saya ingin menikmati euforia Jakarta Hati di tempat selapang itu. Wusss jangan bayangkan keromantisan pada adegan ini, itu tidak akan terpotret dari kami tapi saya jamin  dalam diri kami adegan ini tercatat dan nantinya terulang kembali dalam rasa serta akal saat kami terjebak pada keruwetan kota Jakarta.

Seperti biasanya, dalam keadaan euforia saya selalu mengucap kalimat yang tak tuntas dengan mata mengawang. Bayu meladeni sekenanya sampai kemudian saya dan Bayu terlibat diskusi singkat mengenai film Jakarta Hati --nanti saya ceritakan detilnya tapi nanti kalo sempat-- Bayu sempat bertanya pada saya “kenapa gak sekalian dibikin kayak layar tancep aja ya, Nyet? Kalo ada registrasinya kan masih keliatan eksklusip.” Saya menjawab “iya sih masih eksklusip eh tapi nggak deh. Eh tapi kalo tempatnya gak dibikin begitu, tadi ditengah cerita film gue gak bakal rasain sensasi  mesem-mesem sendiri, udah ceritanya begitu eh pas liat ke atas liatnya langit ada bulannya. Keren amat. “ Ada kebahagiaan yang tak terjemahkan oleh kata-kata, ada udara segar yang memberi ruang lega pada yang tertumpuk dalam hati dan pikiran. 

Selamat Ulang Tahun Bayu.. 



Lenteng,
3 Desember 2014