Kamis, 18 Juli 2019

Terimakasih Hindia dan Sal


“Lalu datang dari mana setumpuk kecemasan yang selamanya?”

“Sebab aku gagal di hari yang pernah.”

Aku gagal dimatikan Mama ketika aku berumahkan di dalam perutnya

Aku gagal menolak saat Kakek (dari Ayah) membawaku ke tempat pangkas rambut, sebab ia tak berharap cucu perempuan dengan rambut panjang ikal, melainkan kegagahan dari cucu laki-laki

Aku gagal melindungi Mama dari kecamuk kakak-kakak Ayah karena mereka tak merestui ia menjadi istri adiknya

Aku gagal tuli juga buta saat Ayah dan Ibu saban hari saling melempar cacian juga perabotan

Aku gagal menjaga harga diriku sebagai kakak: maghrib itu, dahiku diserbu kunang-kunang hingga dengkulku lemas, aku terlanjur membaca pembuka kalimat pada sebuah pesan singkat yang nyata: “kak, aku hamil anak dari adikmu”

Pada tutup hari-hari yang gagal, aku memberi janji pada diri bahwa yang terjadi hari ini untuk terakhir kali. Aku pecut diri agar ekstra hati-hati, barangkali godaan menjadi gagal terlihat lebih menggiurkan ketimbang keberhasilan semu. Maka menjadi mawas adalah penting, kepala dan hatiku seperti perlu membaca situasi, perlu membaca gerak-gerik sekitar, perlu membaca suara yang belum genap kalimatnya. Setiap waktu, aku merasa perlu memaknai segalanya yang belum utuh, aku merasa perlu menyusunnya sorang diri. Agar aku tidak kembali ke hari pernah gagal. Satu-satunya pengakuan paling suci pada diri sendiri adalah hal ini benar-benar membuat letih. Aku minta ampun, aku ingin berhenti memaknai kegagalan sekalipun sedang tidur tapi selalu saja ingatan yang paling menyadarkan adalah aku belum juga mati.


“Aku tidak mendengar apa-apa dari mulutmu. Kau hanya mengada-ada, sebenarnya kau hanya gila sebab cantik yang telah terberi.”

“Hahahahahaha. Aku akan makan kamu!”

“Berbaringlah.”

“Tapi kepalaku tidak akan pernah di atas dadamu. Aku enggan merasa pegal. Kau pun.”

“Hahahahaha. Ajari aku, ajari aku merawat sehat serta bahagia.”









Batu Tulis,
18 Juli 2019

Mengingat: Hindia ft. Sal Priadi - Belum Tidur


Rabu, 10 Juli 2019

Kabar Baik

Tak ada ide kapan dan di mana aku belajar bahwa menyebarkan kesakitan dengan cara mengolok-olok adalah terapi untuk mengampuni juga memaafkan diri sendiri.

Dalam cerita sedih yang memang salahmu dan membuatmu menyesal setengah mati. Semula kau rasakan sendiri sayatan rasa bersalahmu, sampai menghujam ulu hati, menyisakan pegal pada punggung, pusing pada kepala hingga mual berkelanjutan, seperti perutmu sudah penuh tapi kau dipaksa terus makan oleh entah siapa.

Kau mengagungkan sakit itu, menyimpannya di tempat paling rahasia dalam dirimu. Sebagai tebusan atas kecerobohan yang mampu mengubah segala rencana bahagia menjadi bencana.

Pada waktunya, tidak ada lara yang panjang umurnya. Kau terbangun di waktu yang tepat, sayat itu kau rasa sebagai lelucon lalu kau menyebarkan cerita masa lalu pada orang-orang sekitarmu tak peduli mereka kenalan lama atau baru. Kau hanya ingin umbar sebanyak-banyaknya sebab kau tiba-tiba merasa cerita itu sudah tidak lagi mewah. Kau tidak perlu pelit berbagi. Dengan begitu kecerebohanmu, penyesalanmu, kepedihanmu milik sekitar. Mereka memaafkanmu memaklumimu sembari tertawa, kau tak perlu lagi pengampunan darinya. Sebab pada sekitar, kau sudah merasa cukup.







Bekasi,
1 Juli 2019