Kamis, 19 Juli 2018

Riwayat Pernikahan

"Kami berangkat berdua menuju kota pernikahan dari kota yang sama, kota kebencian."

Ia membuka obrolannya pada suatu pagi yang salah, di dalam sebuah bis tanpa tujuan. Aku mendengarkan sembari lekat-lekat memandang wajahnya.

"Bekal syarat-syarat dan kesepakatan-kesepakatan antar pelaku dan korban telah kami dan dibantu kedua keluarga memasaknya matang-matang juga tak lupa porsi yang sekiranya adil untuk kami tidak kelaparan sesampainya di kota pernikahan."

Aku memandangi seluruh wajahnya dan masih mendengarkan.

"Setelah kejadian itu, kami memang harus menikah, maksudku aku yang harus menikahinya. Menikahinya akan lebih mudah daripada aku hidup di penjara bukan?"

Aku masih belum berani menyela kata-kata yang keluar dari mulutnya. Meski dalam beberapa saat, ia sempat terdiam. Sesekali ia menoleh ke jendela, sementara badannya masih bersandar pada bangku yang tak sesuai bentuk punggung.

Bis melaju dalam kecepatan stabil. Pagi hari itu di jalan bebas hambatan, kemacetan seperti biasanya memang tak terjadi. 

Di sisi jalan, dari jendela kami melihat sebuah mobil keluaran Jerman yang ringsek. Entah apa penyebabnya. Seluruh penumpang mobil itu sudah tak terlihat. Hanya ada beberapa petugas yang mengamati sisa-sisa bentuk mulus kendaraan berharga miliaran rupiah itu.

"Apakah hidup ini seperti mengendarai mobil di jalan tol? Hampir semua mulus tapi tetap ada saja yang celaka?"

Aku ingin menjawabnya. Telah kupersiapkan jawaban yang paling tepat untuk mengatasi nasib buruknya. Tapi kubatalkan. Aku masih bertahan dalam kediamanku sambil tetap memandangi raut wajahnya.

"Malam itu kami menyelesaikan masalah dengan satu-satunya solusi: saling hantam. Detik itu kami lupa rasanya mengasihi, kami lupa nikmatnya menggelinjang, kami lupa pada senja yang menyumbang sebuah ciuman mesra. Mata kami, kepala kami saling melihat kekacauan, kebisingan, kecurangan, permusuhan."

Aku sedikit membuang arah pandang, ada air yang segera jatuh deras. Aku ingin rengkuh kepalanya, kedua kantung matanya terbenamlah di bahuku. Bahuku yang baik, bahuku yang cantik akan mampu membuatmu istirahat sempurna. Segeralah.

Tanpa sempat kukatakan keinginanku, ia telah merebahkan kepalanya di bahuku. Tanganku membelai rambutnya pelan.

Adegan itu mengingatkanku pada masa lalu. Aku tahu dari raut wajahnya, usianya belum menginjak seperempat abad. Hidupnya harus berakhir dalam pelaminan yang sebenarnya tak dinginkan.

Tepat 10 tahun lalu, aku merasakan apa yang dialaminya kini. Mengawini seseorang yang tak kuinginkan. Semuanya berawal dari sebuah kamar hotel seharga tak lebih dari sejuta di daerah Kemang. 

Kami berdua dimabuk asmara ketika itu. Dua botol bir ditambah canda tawa basi menjadi pembukanya. Semua terjadi dengan sangat cepat. Ia membuka seluruh gaunku dengan semangat. Aku pun menikmatinya.

Selang dua bulan, baru aku sadar tak ada tamu yang datang. Seperti kebanyakan perempuan, tentu saja aku panik. Ayahku yang seorang kyai di kampung pasti akan murka. Ibuku, jika kabar itu sampai, pilihannya dua: tak mengakui sebagai anak atau mati karena jantung yang tak kuat.

Aku putuskan untuk menemui lelaki itu. Bukan. Bukan meminta pertanggungjawaban. Aku hanya ingin dia tahu bahwa darahnya telah mengalir di dalam diriku. Hanya itu.

Ia terkejut, tapi siap menikahiku. Aku pun tak memiliki pilihan lain. Aku tak mau ibuku mati dan ayahku malu. Bukan berarti aku menyayangi mereka. Tapi karena perlu. Lagipula, aku tak tahu lagi harus melalukan apa. Menggugurkan nyawa yang belum pernah lahir adalah tindakan semena-mena.

Begitulah. Aku akhirnya terjebak dalam perkawinan. Tak ada pesta. Memang tak perlu, pikirku.

Ia yang sejak tadi banyak bicara, sekarang tinggal diam. Sementara pikiranku jauh berkelana ke masa lalu. Bis kami tetap berjalan entah menuju ke mana.

*******************

"Kamu punya bekas luka di mana?"

Pertanyaan itu membuat aku harus melompat jauh dari masa lalu lain ke masa lalu lainnya. 

"Banyak. Aku gampang ceroboh dalam melangkah. Pernah, aku bermain petak umpet bersama sepupu-sepupu, aku sedang mencari tempat untuk sembunyi, karena ramai kami saling bertabrakan, berebut tempat sembunyi yang tak banyak untuk seukuran rumah nenek. Apesnya, keningku malah menabrak ujung lemari kakek alhasil persis di tengah keningku robek. Saat itu aku hanya merasa sempoyongan sambil meneruskan mencari tempat persembunyian, dalam lari kecil ada darah menetes ke lantai. Seorang sepupu histeris, ternyata darah itu cukup banyak mengalir dari keningku. Aku menangis bukan karena kesakitan tapi karena terbawa suasana sepupu-sepupuku yang kompak histeris melihat darah. Saat itu juga, Ibu dan Oom membawa aku ke rumah sakit. Dalam perjalanan, aku tak sama sekali merasa sakit sebab pikiranku penuh dengan adegan setelah ini, pastilah Ibu memarahiku. Sungguh lebih mengerikan daripada melihat darah dari tubuh sendiri."

Sepertinya pertanyaan itu hanya sebagai pengalihan agar ia dapat menikmati ingatan-ingatan yang lebih jauh dari sebelum ia memutuskan untuk pergi ke kota pernikahan.










Berbagai tempat di Jakarta
30 Mei - 2 Juni 2018