Kamis, 30 Oktober 2014

Diskusi

Pohon bambu yang tak pernah layu sejak kami semester satu menjadi wasit saat kalimat-kalimat kami saling beradu, tak bertemu.

Monster itu kembali datang ke hadapanku. Ia tak tahu malu. Diserahkannya kepala ia padaku, dulu. Sebagai mahar hubungan yang tak menentu. Katanya, ambillah kepalaku agar kita saling berkasih madu. Cepatnya waktu, membuat kalimat itu hanya seperti figuran eftivi yang sambil lalu.

Saat kau menuntut sendiri. Aku telah beri bahkan kali ini aku mau mengerti. Kau pasti menganga melihat aku yang menjlema sebagai seorang yang berpengertian. Apalagi aku sampai di jalan penerimaan.

Salam hangat untuk dadamu yang ketar-ketir..











Lenteng,
September 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar