Selasa, 01 Juli 2014

Selamat Malam, Addis dan May

May:

Selamat malam, Addis...

Aku menara merah. Menara merah yang tinggi menjulang. Engkau kota. Engkau pagi. Engkau senja yang membentang, mengelilingi aku yang hampa. Akulah menara hampa. Tanpa suara, tanpa cahaya.

Pada aku rasio yang rapat menjadi pepat. Pecah, berhamburan. Melayang dan pelan-pelan menghilang. Engkaulah dunia, surga yang berpijak di tanah.

Selamat malam sempurna, Addis...

***

Addis:

Jangan tanyakan definisi kita padaku, May

Aku tak ingat betul kapan aku mulai mengenalnya

Saat itu, waktu masih mengolok-olok kau dan aku

Tapi coba kau tanyakan definisi dari sebuah peristiwa

maka aku akan jelas menjawab:

 kau dan aku berciuman dengan latar tuhan pada satu senja






Lenteng,
13 Juni 2013

Sayang

Aku teringat pada yang pernah aku dengar dari seseorang: hilangnya bagian tubuh tak mempengaruhi hidup dan bahwa manusia bisa hidup hanya dengan sisa kepala. Jika kepala tak ada, matilah ia.

Subuh sekarang kau mengucap bahwa tubuhku tak membutuhkan apa yang ada di kepalaku. Isi kepalaku tentu harus diwadahi oleh kepala. Jadi kau berpikir kesia-siaan isi kepalaku adalah kematian, begitu? Ketajaman lidahmu yang membuat perasaan ini tak pernah tuntas, yang membuat lidahku tak pernah henti berliur karenanya, yang tak pernah sembuhkan segala luka.

Dengan 20 jari yang kau miliki, tak akan habis jika digunakan untuk menghitung berapa kali kau mengucap terimakasih selama 666hari bersamaku. Lidahmu diberatkan isi kepalamu sayang. Setidak-tidaknya aku tidak bilang kau tak memerlukannya.

Kau ingat cerita Aan Mansyur tentang diam? Di dalamnya, ia berseru-seru: “ada banyak kata-kata dalam diam.” Namun sayang, kita berdua mahasiswa ilmu komunikasi, maka seruannya tentu tak berlaku. Lidah kita akan selalu mengecap dan mengucap pada “ilalang panjang dan bunga rumput—rasa sakit yang tak putus dan nyaring lengkingannya.”





Kamar,
30 Juni 2014

Kutipan: Puisi Sapardi Djoko Damono – Di Restoran