“Lalu datang dari mana setumpuk kecemasan yang selamanya?”
“Sebab aku gagal di hari yang pernah.”
Aku gagal dimatikan Mama ketika aku berumahkan di dalam
perutnya
Aku gagal menolak saat Kakek (dari Ayah) membawaku ke tempat
pangkas rambut, sebab ia tak berharap cucu perempuan dengan rambut panjang
ikal, melainkan kegagahan dari cucu laki-laki
Aku gagal melindungi Mama dari kecamuk kakak-kakak Ayah
karena mereka tak merestui ia menjadi istri adiknya
Aku gagal tuli juga buta saat Ayah dan Ibu saban hari saling
melempar cacian juga perabotan
Aku gagal menjaga harga diriku sebagai kakak: maghrib itu, dahiku
diserbu kunang-kunang hingga dengkulku lemas, aku terlanjur membaca pembuka
kalimat pada sebuah pesan singkat yang nyata: “kak, aku hamil anak dari adikmu”
Pada tutup hari-hari yang gagal, aku memberi janji pada diri
bahwa yang terjadi hari ini untuk terakhir kali. Aku pecut diri agar ekstra
hati-hati, barangkali godaan menjadi gagal terlihat lebih menggiurkan ketimbang
keberhasilan semu. Maka menjadi mawas adalah penting, kepala dan hatiku
seperti perlu membaca situasi, perlu membaca gerak-gerik sekitar, perlu membaca
suara yang belum genap kalimatnya. Setiap waktu, aku merasa perlu memaknai segalanya
yang belum utuh, aku merasa perlu menyusunnya sorang diri. Agar aku tidak kembali
ke hari pernah gagal. Satu-satunya pengakuan paling suci pada diri sendiri
adalah hal ini benar-benar membuat letih. Aku minta ampun, aku ingin berhenti memaknai
kegagalan sekalipun sedang tidur tapi selalu saja ingatan yang paling
menyadarkan adalah aku belum juga mati.
“Aku tidak mendengar apa-apa dari mulutmu. Kau hanya mengada-ada,
sebenarnya kau hanya gila sebab cantik yang telah terberi.”
“Hahahahahaha. Aku akan makan kamu!”
“Berbaringlah.”
“Tapi kepalaku tidak akan pernah di atas dadamu. Aku enggan
merasa pegal. Kau pun.”
“Hahahahaha. Ajari aku, ajari aku merawat sehat serta
bahagia.”
Batu Tulis,
18 Juli 2019
Mengingat: Hindia ft. Sal Priadi - Belum Tidur
Apa ya, tulisan ini mengingatkan gue kalau kita ga pernah ingin dilahirkan (menjadi perempuan atau laki-laki), bahwa kegagalan sudah menjadi satu proses hidup yang memang harus ada, bahwa rencana sematang apapun bisa gagal pada detik-detik terakhir, bisa oleh diri kita sendiri ataupun pihak lain. Dan pada akhirnya, setelah nangis, nyesel, bego2in diri sendiri, marah2, mau tak mau, menerimanya dan melanjutkan hidup.
BalasHapusSalah satu yang gue suka dari tulisan elu itu, seperti sebuah kompleksitas dengan segala keindahannnya. Gue suka.
Tetap menulis ya, Dis.
kalau tidur jangan mangap mulu ya! Ga tega gue.