Malam selasa
tanggal 1 Desember lalu saya mengajak Bayu --teman mewah saya-- ke Kineforum
Misbar di blok S yang menayangkan film Jakarta Hati. Sebetulnya judul-judul
yang terdapat pada jadwal pemutaran film di Kineforum Misbar hampir seluruhnya earcatching, cukup untuk menciptakan
keinginan datang menonton. Tepat dengan jadwal
saya dan Bayu yang lowong pada malam itu sampailah kami di blok S meski
sebelumnya Bayu sempat membatalkan sepihak rencana kami, ah tapi dengan sigap
saya langsung pajang muka yang mengerutkan kening dan sedikit memajukan bibir,
tanda bahwa saya kecewa sekaligus menjadi tanda Bayu berkata “taik” yang
diikuti kalimat “ayok deh. Ngeselin lu” dan horeee kami berangkat. Berangkat
dengan jantung deg-deg-an sepanjang perjalanan sebab motor Bayu tak ada rem.
Dalam hati, saya panjatkan doa “Tuhan, kabulkan keinginan Bayu mati diusia 27
tahun dan kematianku yang tidak disebabkan kecelakaan.”
Kami tiba di
sana ketika film pertama pada malam itu: Si Doel Anak Betawi masih diputar,
kira-kira 30 menit kemudian para penonton berbauran keluar, film telah selesai.
Kami melihat beragam segmen penonton, yang menarik perhatian saya --bukan kami,
sebab Bayu yang bodo amat-- adalah sebagian (mungkin) penduduk sekitar yang
selesai menonton lalu sambil menunggu film berikutnya, mereka menyenyam berbagai
bekal yang dibawa seperti gorengan, kacang, bahkan nasi dan lauk pauk. Seru
sekaliii. Memang design ruang Kineforum Misbar tidak seperti layar tancep namun
tempatnya yang di lapangan memberi rasa layar tancep. Tak ada hubungannya sih
bekal dan ruang toh yang duduk di bioskop juga sambil mamam. Jadi apa? Jadi
Kineforum Misbar itu wah. Setelah menonton
Jakarta Hati, saya mengajak Bayu untuk tidak langsung ke parkiran atau
warkop terdekat, saya mengajak setengah memaksanya agar duduk di tengah
lapangan blok S sambil meneguk sedikit sisa air mineral botol dan sebanyak sisa
rokok. Saya ingin menikmati euforia Jakarta Hati di tempat selapang itu. Wusss
jangan bayangkan keromantisan pada adegan ini, itu tidak akan terpotret dari
kami tapi saya jamin dalam diri kami
adegan ini tercatat dan nantinya terulang kembali dalam rasa serta akal saat
kami terjebak pada keruwetan kota Jakarta.
Seperti biasanya,
dalam keadaan euforia saya selalu mengucap kalimat yang tak tuntas dengan mata
mengawang. Bayu meladeni sekenanya sampai kemudian saya dan Bayu terlibat
diskusi singkat mengenai film Jakarta Hati --nanti saya ceritakan detilnya tapi
nanti kalo sempat-- Bayu sempat bertanya pada saya “kenapa gak sekalian dibikin
kayak layar tancep aja ya, Nyet? Kalo ada registrasinya kan masih keliatan
eksklusip.” Saya menjawab “iya sih masih eksklusip eh tapi nggak deh. Eh tapi
kalo tempatnya gak dibikin begitu, tadi ditengah cerita film gue gak bakal
rasain sensasi mesem-mesem sendiri, udah
ceritanya begitu eh pas liat ke atas liatnya langit ada bulannya. Keren amat. “
Ada kebahagiaan yang tak terjemahkan oleh kata-kata, ada udara segar yang
memberi ruang lega pada yang tertumpuk dalam hati dan pikiran.
Selamat Ulang
Tahun Bayu..
Lenteng,
3 Desember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar