Sebagaimana kalimat yang aku
percaya: malam tidak harus baik-baik saja. Aku membaca cerpen Asmoro karya
Djenar yang kusengajakan kegelisahan di dalamnya terendap padaku malam ini. Sebab
di sebelah tempatku celentang telah berbaring seorang laki tak bernama. Sebelum ia
tertidur mengorok, sudah ia sempatkan bercerita tentang hal yang tak penting
untukku ketahui. Tapi ia bercerita, maka keharusanku mendengar, tak ada
siapa-siapa di ruangan pengap gelap ini selain kami berdua.
Sebentar lagi. Sebentar lagi
mataku terpejam pulas namun gagal karena sesuatu datang padaku. Sebut saja
sesuatu itu si Godot. Padahal aku tak sedang menunggunya tapi ia datang cuma-cuma.
Sialan! Ingin rasanya aku katakan pada sutradara bahwa Godot telah menyambangiku
tanpa aku menanti-nanti, jadi batalkan saja pementasannya. Sia-sia..
Kesia-siaan ini aku genapkan
dengan pembacaan berulang cerpen Asmoro karya Djenar pada angka yang tak
ganjil. Tapi aku lupa pada angka apa aku berhenti melafalkannya. Tentu bukan
pada angka dua. Lebih dari dua juga
empat atau enam, sebab tidak ada nyamuk yang mendekatiku. Gerakan menggigilku terlalu
gesit menjadi sasaran nyamuk. Sayup-sayup aku melihat gerombolan nyamuk berbaris
rapi dari atas kening hingga ujung jempol kaki. Mereka hanya terpukau melihat
tubuhku gemetar, barangkali mereka sedang membuat strategi agar bisa hinggap
pada kulitku dan menghisap darah berkantong-kantong atau barangkali mereka
terpaku menyaksikan getaran badanku yang lincahnya melebihi mereka saat
menghindari tepokan tangan manusia yang hobi bersenang melihat darah nyamuk.
Mengutip puisi Tiang Listrik
karya Afrizal Malna “aku membiarkan malam membuat balok kayu di punggungku.”
Tapi sebenarnya kutipan tersebut tak mewakilkan diri yang sengaja memberikan
kepalanya pada semut-semut. Juga tak mewakilkan diri yang sengaja memberikan
hatinya pada musim dingin.
Sampai jumpa pada keresahan
lain-lain..
Lenteng,
4 Oktober 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar