Di sudut ruang perpustakaan
duduklah sebotol minuman.
Aku berhadapan dengannya kini. Ia membisu,
melirikku pun tidak.
Ia diam dalam kecairannya.
Aku menuju padanya, memeluk,
mencium bertubi-tubi.
Ia tetap bisu.
Tak ada lagi dosa yang bisa aku
perbuat di perpustakaan ini.
Aku berjalan meninggalkan ia bersama
kepulan asap yang kuhembuskan keras-keras pada ujung ubun-ubunnya.
Ia benar-benar berubah,
dibiarkannya langkahku berjalan.
Tak tertahan, tak ada pesan.
Para buku mengiringi kepergianku:
ada yang menangis, ada yang bernyanyi parau, ada yang membuat teatrikal tentang semacam keberpisahan, ada yang main
lompat karet, ada yang menertawakan, ada yang saling merobekkan diri lalu
melemparkan puing-puing kertasnya ke langit-langit, ada bermacam-macam yang aku
tidak dapat jelas melihat kegiatan mereka.
Sofa-sofa resepsionis membukakan
pintu untukku, satu meter sebelum akhirnya aku sampai keluar, ada penanda jalan
terpampang seperti peringatan atau memang dua pilihan yang tersedia bagiku:
kiri: jalan kesepian, kanan: jalan kesendirian.
…
Di sudut ruang perpustakaan
duduklah aku yang sibuk membelai-belai sebotol minuman. Cairannya berisikan
ikan kesepian dan ikan kesendirian. Aku bersama kalian sebagaimana kalian
membesarkan aku.
Lenteng,
30 Oktober 2014