Jumat, 20 April 2018

Khianat adalah

Seperti yang sudah, ba'da maghrib, peron 2 stasiun Gondangdia tampak penuh orang, suara pluit, suara pemberitahuan jadwal kereta, serta suara pihak keamanan yang sigap memberi titah pada calon penumpang agar menunggu di dalam garis kuning. 

Tapi saya menangkap sesuatu yang berbeda: aroma. Setelah hujan sekali lebat sore tadi, dalam sembilunya karena kedinginan, ia diam-diam menyimpan udara dari kesibukan isi kepala orang-orang di sana, dari hati yang tergesa, dari bau mulut-mulut yang sedang bercerita namun tak sesuai fakta.

Udara-udara itu semakin membuat Gondangdia kedinginan, dingin yang menghantarkannya pada rasa kesepian. Ia masih ingat betul bagaimana perempuan itu selalu cemas saat hendak ingin keluar stasiun, perempuan itu punya kebiasaan lupa menyimpan kartu keretanya. 

Mulanya pemandangan itu cukup sebagai penghibur Gondangdia tapi setelah lama mengamati, ia menyimpan tanya: bagaimana bisa perempuan itu memelihara semut-semut di dalam kepalanya?

Ini hari ke 23 sejak terakhir ia melihat perempuan itu. Gondangdia rindu tapi ia hanya bisa menunggu. 

Sampai suatu hari ia melihat sekumpulan, ia hafal salah seorangnya pernah bersama perempuan itu. Mereka sedang membicarakan hal yang remeh namun ia mendengar nama perempuan itu disebut, Gondangdia menguping dengan baik.

Tubuh Gondangdia lemas sudah, hatinya ngilu. Tak lagi dingin kini, mata Gondangdia memanas, ada cairan yang ingin segera meluap. Badannya mulai menghangat. Hujan jangan marah, datang lagi. Aku ingin basah.

--------------------------------------------------------------------------

Di lain tempat, seorang perempuan duduk di kursi sebuah bis menuju Bekasi.














Mengingat:
Cerpen dari Anggun Prameswari: Wanita dan Semut-Semut di Kepalanya.
Lagu dari Efek Rumah Kaca: Hujan Jangan Marah




Slipi, 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar